Saturday, August 3, 2024

Apa iya semua sekolah sama?

BY Maya Pratiwi No comments

Aku butuh waktu 4 tahun untuk memutuskan SD yang pas buat Kayla.

Katanya, "people will give effort to what important for them". Mungkin semesta mengamini usahaku. Aku belum juga punya rumah ketika tiba waktunya Kayla masuk SD. So yah, aku tidak mempertimbangkan jarak rumah ke sekolah karena dimanapun sekolahnya maka aku akan mencari tempat tinggal di dekatnya.

Jika benar semua sekolah sama, aku kira tidak akan banyak sekolah swasta bermunculan. Jika benar semua sekolah sama, aku kira tidak akan ada akreditasi dan sejenisnya. Dan jika benar semua sekolah sama, maka kita tidak akan pernah mendengan narasi tentang sekolah favorit. Memang, kualitas sekolah itu tidak bisa diukur dari nilai ekreditasi, atau biaya bulanan, atau jumlah siswanya. Karena kualitas sekolah bagiku sangat subjektif. Dan itu juga akan tergantung seperti apa kualitas penilainya.

Pertama, aku & suami merasa punya privilege karena punya cukup tabungan yang membuat kami lebih leluasa memilih sekolah untuk Kayla. Karena banyak orang yang tidak punya banyak pilihan karena keterbatasan biaya. Kedua, memiliki pasangan yang punya visi yang sama untuk pendidikan anak juga sebuah privilege penting buatku. Banyak orang tua yang aku yakin belum punya goals yang jelas untuk pendidikan anaknya. Merasa bahwa sekolah hanyalah sebuah bagian kehidupan yang seyogyanya memang harus dijalani. Bahkan mungkin mereka tidak benar-benar paham sekolah macam apa yang anak-anaknya masuki.

Aku merasa beruntung punya 2 (dua) privilege itu, jadi aku tidak akan menyia-nyiakannya. Aku kesampingkan rumah baru, mobil cantik, dan barang-barang branded. Bukan karena aku tidak mampu atau tidak ingin. Tapi karena aku punya prioritas lain. Kalau kata orang, pendidikan anak adalah investasi, maka seharusnya kita benar-benar  perlu memikirkan portofolio apa yang paling bagus kan? Dan kayaknya ini juga bukan sebuah pengorbanan ya, karena bagaimanapun juga ini bentuk tanggung jawab pada anak.

Rumah sejatinya hanya sebuah tempat berteduh dan mobil hanya sebuah sarana. Tapi anak-anak adalah penolong saat nanti orang tuanya tiada. (kata orang yang duitnya pas-pasan kaya aku)

Ada banyak sekolah berbasis agama di kota ini. Tapi ya aku tidak mau menutup mata. Karena kadang itu hanya judulnya saja, tidak tercermin dari kehidupan di dalam sekolahnya. Karena bagiku, keyakinanku pada satu agama itu tidak hanya melekat pada "ritual" keagamannya saja. Wow sungguh berat statementku barusan. Ya artinya, pun jika itu memang sekolah agama aku akan tetap melakukan survey dengan kurikulum dan kegiatan belajar mengajarnya. Tidak serta merta menyerahkan pilihanku begitu saja.

Jadi sekolah seperti apa yang aku cari?
Oooh jelas macam-macam 😅. Pada awalnya banyak hal yang aku inginkan. Aku ingin sekolah yang bisa membantu Kayla mengenal dirinya sendiri. Sekolah yang tidak hanya menilai Kayla hanya dari satu sisi yang mereka mau saja. Sekolah yang toiletnya bersih. Yang ini, yang itu. Macem-macem. Sangat demanding ya. Tapi setelah survey ke lebih dari 10 sekolah (baik yang survey onsite, online dan nanya-nanya ke temen) akhirnya aku memutuskan untuk memasukkan Kayla ke sekolah yang tidak untuk semua orang. Bukan karena mahalnya tapi karena hanya orang-orang tertentu saja yang bisa melihat value dari sekolah itu. Karena aku yakin setiap sekolah (baik itu swasta atau negeri) itu punya segmen-nya masing-masing. 

Katanya, sekolah swasta itu tipikal sekolah "nyaman". Dan tidak ada pahlawan yang lahir dari keadaan nyaman. Apa iya sekolah yang membuat Kayla nyaman akan melemahkannya? Hhhmm yaa aku juga tidak tau. Kehidupan masa kecilku sendiri tidak seberuntung orang beruntung 😌, masih bisa aku rasakan kemarahan masa kecilku kepada orang-orang b******k yang aku yakin punya andil pada kehidupanku saat ini. Jadi aku harap di lingkungan yang nyaman itulah ia bisa lebih tenang mengeksplorasi dunia. Alasan yang sama mengapa taman bermain anak-anak dialasi sandbox atau bantalan karet.

Katanya, anak-anak yang sekolah di sekolah swasta itu kurang membumi dan barangkali kehidupannya terlalu ideal untuk menjajaki kehidupan sesungguhnya. Kalaupun itu benar, aku harap itu bisa menjadi pemantik untuknya tentang dunia seperti apa yang harusnya ia ciptakan, menjadi asa baginya untuk tidak menyerah pada dunia. 

Tapi kalau aku pikir lagi, dari jam 5 subuh hingga jam 9 malam, rata-rata waktu yang anak kita jalani di sekolah kurang lebih 8 jam. Artinya 50% kehidupannya sehari-hari ia habiskan disekolah ya? Bandingkan dengan seberapa lama waktu yang kita habiskan untuk berinteraksi dengan anak. Maka ketika aku punya pilihan, aku akan menempatkan anakku di sekolah yang se-visi dengan keluarga.

Dan kamu tidak lupa kan sekarang ini dunia sudah menjadi seperti apa? 

Bangun dan lihat sekelilingmu. Dunia sudah berubah. Kedamaian dan lingkungan yang aman seperti saat kita kecil dulu sudah hilang dan berubah. Apa kamu tidak pernah melihat, membaca, atau mendengar berita pembunuhan, penculikan, kekerasan seksual, pornografi? Apa kamu pikir orang-orang masih sama seperti dulu?

Iya, rasanya aku ingin bilang kalau, "bukan dunia yang berubah, itu hanya aku yang terlalu takut". 

Tapi, bagaimanapun juga. Jangan terlalu percaya pada tulisanku. Aku bisa berpendapat seperti ini karena seperti yang aku sebutkan di atas, aku punya privilege. Andai aku tidak punya privilege, niscaya tulisanku tidak akan seperti ini. Kamu jelas punya hak untuk mengatur hidupmu dan anakmu. Kamu bebas mempunyai pendapat, bebas memilih sekolah. Lagi pula hidup kita berbeda. Tapi semoga kita sepakat bahwa memang tidak semua sekolah itu sama. Lakukan saja yang terbaik yang bisa kita lakukan.

0 comments:

Post a Comment

Hai, terima kasih sudah membaca.
Silakan tinggalkan komentar kamu disini.

Jangan lupa centang "Notify Me" yaa agar kamu bisa menerima balasan dari saya

Terima kasih :)