Bulan lalu, temen kantor saya habis jalan-jalan ke Thailand. Pertama kalinya dia pergi ke Thailand dan sendirian. Sebenernya gak sendirian banget sih karena disana ada temen kuliahnya yang nemenin selama disana.
Trus dia cerita gitu kan, mamanya rada khawatir sebenernya dia ke Thailand sendirian.
(Ehem yaa menurut nganaaaaa, orang tua mana yang gak khawatir anak gadisnya pergi sendirian ke negeri orang?)
Saya aja yang anak lokalan di khawatirin kok :( apalagi yang ke negeri orang :(
Ga ada masalah sih dengan berpetualangan di masa muda. Asal semuanya dipertimbangkan. Bepergian jauh, main sama temen, nyari temen, jalan-jalan, bawa kendaraan di jalan umum, bolos sekolah, atau yang lainnya ga ada masalah. Yang penting dipikirin bener-bener.
Saya pernah bolos sekolah saat SMA kelas 3. Tapi saya bolosnya pergi belajar ke tempat les-lesan. Karena saya pikir, lebih efektif belajar ditempat les dari pada disekolah. Mungkin ga papa bolos sekolah, asal tidak lebih dari 3 hari, jadi orang tua saya ga kena masalah juga. Saya berusaha bertanggungjawab dengan "kenakalan" saya.
Dan tentu saja, gaya pengasuhan setiap keluarga akan berbeda-beda. Kebetulan orang tua saya tipe orang rumahan yang ga suka anaknya keluyuran jadi sampe sekarang saya tidak bosan kalo harus seharian dirumah. Ada keluarga yang ga masalah anaknya pergi main-main berpetualangan sehingga anaknya suka explore kemana-mana sampe dia dewasa. Para orang tua selalu punya alasan dengan gaya pengasuhan masing-masing. Tidak masalah. Tapi seperti apapun gaya pengasuhan orang tua, saya percaya bahwa orang tua yang peduli dengan anaknya akan selalu khawatir dengan apa yang mungkin akan terjadi pada anak-anak mereka.
Itulah kenapa ada nasehat.
Agak basi sih. Tapi sebenarnya, nasehat orang tua akan membantu kita untuk mempertimbangkan plus minus dari perilaku kita. Apalagi jaman sekarang orang bisa berubah menjadi sangat kasar dan gila hanya karena masalah sepele. Ada yang dimutilasi karena masalah asmara, ada yang diculik lalu dijual sama orang yang baru kenal di Facebook, ada yang modus agama trus dijerumuskan ke aliran sesat. Naudzubillahimindzalik
Flashback ke jaman dulu...
Meskipun saya anak rumahan, saya pernah keluyuran. Jalan sama anak kosan, anak kantor, anak kelas, jalan malem sampe pagi atau jalan siang ampe malem. Tapi apa salahnya main sama temen? Apa yang perlu ditakuti? Lingkaran pertemanan saya baik, meskipun ga semua baik 🤔.
Meskipun kadang tanpa sadar, saya dalam bahaya. Seperti misalnya saya dan temen kuliah saya, perempuan. Kami pergi berdua ke Trans Studio Mall (dulu namanya Bandung Super Mall), naik angkot. Jaman tidak secanggih sekarang karena ada google maps atau gojek. Sudah pasti kami tersesat!!
Tujuan ke Bojongsoang tapi kami naik angkot sampe Moh. Toha. Lalu seseorang menyarankan untuk berhenti di Jl. Radio dan lanjut naik becak sampe asrama kampus. Malam. Gelap. Sepi. Hanya bertiga dengan tukang becak. Bukan tidak mungkin kami di culik, atau disesatkan, atau dirampok. Alhamdulillah Allah ngasih orang baik, amit-amit kalo dia jahat sama saya, udah jadi apa saya sekarang?
Pernah juga saat SMP. Masa-masa ingin dikenal. Masa-masa ingin eksis seperti yang lain. Masa-masa merasa "aman" karena temennya banyak.
Saya tidak menolak ajakan untuk jalan bareng temen SMP. Ke pantai Pangandaran. Naik motor !!!
Tidak jauh jarak rumah dengan Pantai, mungkin 40an Km. Tapi perjalanan beda kota dan beda Provinsi. Dan kami naik motor. Umumnya anak SMP belum berusia 17tahun dan tidak punya Ijin Mengemudi kan. Antara sadar akan bahaya dan sadar akan dipermalukan, saya pilih dipermalukan. Baikah saya cupu dan tidak bernyali. Saya memilih pulang dari pada menanggung sesal. Karena biasanya orang baik selalu merasa tidak nyaman saat melanggar peraturan. Meskipun beberapa kali saya datang terlambat ke kantor dan tidak merasa tidak nyaman 😄
Sebenernya, bisa jadi emang kalo waktu itu saya tetep pergi, bisa jadi saya akan baik-baik aja. Bisa jadi memang tidak ada razia polisi, tidak ada kejadian buruk, lalu saya bisa pulang dengan selamat. Dan bisa jadi kalo saat itu saya tetap pergi dan saya baik-baik saja, maka saya akan mengulangi hal yang sama lagi. Jadi saya bersyukur kalo hati saya terketuk untuk tidak berbuat hal yang aneh-aneh di kesempatan pertama. Mungkin itu cara Allah menyelamatkan saya. Dan untuk hal yang memang jelas melanggar aturan, ga perlu pembuktian kan gimana dampaknya? Saya tidak perlu membuktikan dong kalo anak SMP ke Pangandaran naik motor tuh ga akan kena razia polisi. Udah aja pahami kalo hal tersebut emang melanggar aturan, jadi ya gausah dilakukan.
Meskipun kadang, membuktikan sebuah larangan bahwa itu hanya mitos yang tidak terbukti akibatnya justru akan semakin memicu adrenalin kita untuk melakukannya. Seperti kalo dilarang jangan ngebut nanti jatoh. Apa ga malah di gas biar makin kenceng? Semacam pengen gaya gayaan dan ngebuktiin kalo ngebut tuh belum tentu jatuh.
Ada juga cerita pas saya SMA saya pernah pulang kerumah naik bis dan kesorean. Bis di kampung tidak beroperasi 24jam saat itu. Menjelang magrib langsung pulang kandang. Sampai terminal pun tidak. Sebenernya saya ga terlalu khawatir sih karena belum malem juga. Niat awal sih mau minta jemput sesampainya di kandang bis. Tapi ternyata pak Sopir nawarin nganterin saya kerumah naik motor. Baiklah itu sangat mengerikan. Di jaman sekarang sulit membedakan mana manusia yang tulus dan berakal bulus. Tapi saya pikir saat itu, ada orang baik kenapa saya tolak? Saya bisa lompat dari motor atau berteriak kalo terjadi apa-apa. Dan jarak kerumah saya udah deket, melewati keramaian, jadi kenapa saya harus takut? Saya orang baik, jadi kenapa saya harus dijahati?
Orang tua saya jelas marah besar. Saat itu emang tidak terjadi apa-apa. Saya sampai dirumah dengan selamat. Kadang kita punya semacam firasat tentang sesuatu yang baik dan buruk. Meskipun firasat sering kali salah, tapi saat itu firasat saya baik. Ini seperti saat kita mengendarai motor dan kita hanya menggunakan feeling untuk mengukur apakah motor kita cukup aman untuk menerobos keramaian jalan. Jadi apa salahnya menggunakan feeling untuk menilai apakah seseorang benar-benar bermaksud baik atau tidak?
Tapi meskipun firasat saya baik dan Alhamdulillah saya selamat saat itu, nasehat orang tua saya benar-benar membuat saya merinding membayangkan apa yang telah saya lakukan. Kalo dipikir-pikir lagi, kenapa saya bisa seberani itu sih mengijinkan orang asing nganterin saya kerumah?
Itu cerita lama sih tapi sangat berarti buat saya. Tapi ya gitu, kadang fokus kita tuh cuma ke satu hal, jadi hal lainnya lupa untuk dipertimbangkan, termasuk pertimbangan keselamatan. Itulah kenapa orang tua suka memberi nasehat, suka menegur, berpikiran kolot, konservatif, penakut dan sejenisnya. Karena mereka peduli dengan anak-anak mereka. Nasehat-nasehat itu sebenarnya untuk meningkatkan kewaspadaan kita. Bukan tidak percaya dengan anak-anak tapi agar kita lebih aware dengan bahaya yang mungkin tidak kita sangka. Bisa jadi menurut kita baik baik aja, tapi pengalaman orang tua berkata sebaliknya. Itulah kenapa orang tua cerewet.
Kalo dulu saya pernah berbuat neko-neko dan ternyata saya masih baik-baik saja, itu karena Allah masih menyelamatkan saya. Tapi butuh berapa kali percobaan sih? Mau sampe ditegur sama Allah? Mending ditegur orang tua apa ditegur Allah?
Selain karena Allah masih sayang sama saya, saya yakin orang tua saya ga pernah lepas berdoa agar saya selamat di dunia dan akhirat. Apa yang bisa orang tua lakukan untuk anaknya yang sudah mulai dewasa? Yang sudah mulai ngerti banyak hal, yang sudah tau maunya apa, yang sudah bisa membuat pilihan? Cuma modal doa ðŸ˜
"Anak ku lagi dikosan sendirian, selamatkan dia dari hal buruk ya Allah"
"Anak ku lagi main sama temen-temennya, selamatkan dia diperjalanan ya Allah"
Tidak ada orang tua yang ingin anaknya melakukan kesalahan atau "kenalakan" yang sama seperti yang pernah mereka lakukan. Semua orang tua yang peduli dengan anaknya menginginkan anaknya menjadi manusia yang lebih baik. Dan harus disadari bahwa manusia berproses. Ada masanya anak merasa ingin tau, ada masanya anak merasa lebih tau segalanya, dan masa-masa lain yang orang tua kitapun dulu pernah mengalaminya. Saya merasa menjadi lebih baik dari saya yang dulu pun butuh waktu. Orang baik juga butuh proses untuk menjadi baik. Tapi saya berharap, tulisan ini bisa membantu orang lain, terutama anak-anak saya untuk berproses menjadi lebih baik dan lebih cepat. Semoga tanpa perlu menunggu menjadi ibu/suami pun mereka sudah bisa lebih baik dari saya. Semoga nasehat bisa membuat mereka menjadi lebih baik tanpa harus mengalami sendiri kejadian yang pernah orang tua alami.
Dan semoga kita sebagai orang tua, kita bijak dalam memberi nasehat. Karena kadang nasehat yang tidak tepat waktu juga hanya akan mempersulit hubungan orang tua dan anak.
Saya berharap anak-anak saya kelak mengerti bahwa yang saya dan suami saya inginkan hanyalah kebaikan untuk mereka. Saya dan suami saya hanya bisa memberi nasehat dan berdoa semoga anak-anak mengerti apa yang kami maksudkan.
Daaaan buat semua anak-anak yang disayangi orang tuanya masing-masing, ingatlah kalo kehidupan itu tidak hanya tentang kamu aja. Tapi juga tentang keluarga yang masih sayang sama kamu, tentang calon suami/istri dan calon anak-anak yang menunggu kamu, dan masa depan yang perlu dijemput.
Love,
Mimi
