Aku butuh waktu 4 tahun untuk memutuskan SD yang pas buat Kayla.
Katanya, "people will give effort to what important for them". Mungkin semesta mengamini usahaku. Aku belum juga punya rumah ketika tiba waktunya Kayla masuk SD. So yah, aku tidak mempertimbangkan jarak rumah ke sekolah karena dimanapun sekolahnya maka aku akan mencari tempat tinggal di dekatnya.
Jika benar semua sekolah sama, aku kira tidak akan banyak sekolah swasta bermunculan. Jika benar semua sekolah sama, aku kira tidak akan ada akreditasi dan sejenisnya. Dan jika benar semua sekolah sama, maka kita tidak akan pernah mendengan narasi tentang sekolah favorit. Memang, kualitas sekolah itu tidak bisa diukur dari nilai ekreditasi, atau biaya bulanan, atau jumlah siswanya. Karena kualitas sekolah bagiku sangat subjektif. Dan itu juga akan tergantung seperti apa kualitas penilainya.
Pertama, aku & suami merasa punya privilege karena punya cukup tabungan yang membuat kami lebih leluasa memilih sekolah untuk Kayla. Karena banyak orang yang tidak punya banyak pilihan karena keterbatasan biaya. Kedua, memiliki pasangan yang punya visi yang sama untuk pendidikan anak juga sebuah privilege penting buatku. Banyak orang tua yang aku yakin belum punya goals yang jelas untuk pendidikan anaknya. Merasa bahwa sekolah hanyalah sebuah bagian kehidupan yang seyogyanya memang harus dijalani. Bahkan mungkin mereka tidak benar-benar paham sekolah macam apa yang anak-anaknya masuki.
Aku merasa beruntung punya 2 (dua) privilege itu, jadi aku tidak akan menyia-nyiakannya. Aku kesampingkan rumah baru, mobil cantik, dan barang-barang branded. Bukan karena aku tidak mampu atau tidak ingin. Tapi karena aku punya prioritas lain. Kalau kata orang, pendidikan anak adalah investasi, maka seharusnya kita benar-benar perlu memikirkan portofolio apa yang paling bagus kan? Dan kayaknya ini juga bukan sebuah pengorbanan ya, karena bagaimanapun juga ini bentuk tanggung jawab pada anak.
Rumah sejatinya hanya sebuah tempat berteduh dan mobil hanya sebuah sarana. Tapi anak-anak adalah penolong saat nanti orang tuanya tiada. (kata orang yang duitnya pas-pasan kaya aku)
Ada banyak sekolah berbasis agama di kota ini. Tapi ya aku tidak mau menutup mata. Karena kadang itu hanya judulnya saja, tidak tercermin dari kehidupan di dalam sekolahnya. Karena bagiku, keyakinanku pada satu agama itu tidak hanya melekat pada "ritual" keagamannya saja. Wow sungguh berat statementku barusan. Ya artinya, pun jika itu memang sekolah agama aku akan tetap melakukan survey dengan kurikulum dan kegiatan belajar mengajarnya. Tidak serta merta menyerahkan pilihanku begitu saja.
Jadi sekolah seperti apa yang aku cari?
Oooh jelas macam-macam 😅. Pada awalnya banyak hal yang aku inginkan. Aku ingin sekolah yang bisa membantu Kayla mengenal dirinya sendiri. Sekolah yang tidak hanya menilai Kayla hanya dari satu sisi yang mereka mau saja. Sekolah yang toiletnya bersih. Yang ini, yang itu. Macem-macem. Sangat demanding ya. Tapi setelah survey ke lebih dari 10 sekolah (baik yang survey onsite, online dan nanya-nanya ke temen) akhirnya aku memutuskan untuk memasukkan Kayla ke sekolah yang tidak untuk semua orang. Bukan karena mahalnya tapi karena hanya orang-orang tertentu saja yang bisa melihat value dari sekolah itu. Karena aku yakin setiap sekolah itu punya segmen-nya masing-masing.
Katanya, sekolah swasta itu tipikal sekolah "nyaman". Dan tidak ada pahlawan yang lahir dari keadaan nyaman. Apa iya sekolah yang membuat Kayla nyaman akan melemahkannya? Hhhmm yaa aku juga tidak tau. Kehidupan masa kecilku sendiri tidak seberuntung orang beruntung 😌, masih bisa aku rasakan kemarahan masa kecilku kepada orang-orang b******k yang aku yakin punya andil pada kehidupanku saat ini. Jadi aku harap di lingkungan yang nyaman itulah ia bisa lebih tenang mengeksplorasi dunia. Alasan yang sama mengapa taman bermain anak-anak dialasi sandbox atau bantalan karet.
Katanya, anak-anak yang sekolah di sekolah swasta itu kurang membumi dan barangkali kehidupannya terlalu ideal untuk menjajaki kehidupan sesungguhnya. Masa sih? Memangnya kamu tinggal dimana? Tetanggaan sama Rafi Ahmad? Memangnya kamu satu circle sama Maudi Ayunda? Kalau aku sih masih tinggal di komplek perumahan yang kalo anaknya tetangga nangis masih bisa kedengeran sampe rumah (saking sempitnya rumahku), masih suka keliling naik motor sore-sore nyari gorengan, masih lebih suka beli sayur di pasar meski becek, masih mikir-mikir kalo mau beli baju di shop** atau makan malem cuma mi rebus doang juga masih kok. Hidup aku mah masih membumi, cuma sekolah anakku aja yang kalo bisa jangan di negeri. Wkwkwk becanda
Yaaa kalau boleh berandai-andai. Andai dulu aku gak diketawain saat belajar bahasa inggris, aku yakin aku bisa belajar bahasa inggris lebih cepat dan bisa kuliah di luar negeri. Andai dulu lingkungan sekolahku supportif, aku gak akan menahan diri karena takut bertanya lalu bisa jadi lebih hebat dari sekarang. Andai lingkunganku ga rese, aku yakin aku bisa lebih berani bersuara untuk diriku sendiri. Andai teman-temanku tidak merundungku gara-gara aku ranking 1 terus, mungkin aku bisa lebih percaya diri dengan kemampuanku. Dan perandaian lainnya yang membuatku yakin bahwa aku harus ngasih ruang yang tepat buat Kayla.
Dan kamu tidak lupa kan sekarang ini dunia sudah menjadi seperti apa?
Bangun dan lihat sekelilingmu. Dunia sudah berubah. Kedamaian dan lingkungan yang aman seperti saat kita kecil dulu sudah hilang dan berubah. Apa kamu tidak pernah melihat, membaca, atau mendengar berita pembunuhan, penculikan, kekerasan seksual, pornografi? Apa kamu pikir orang-orang masih sama seperti dulu?
Iya, rasanya aku ingin bilang kalau, "bukan dunia yang berubah, itu hanya aku yang terlalu takut".
Tapi, bagaimanapun juga. Jangan terlalu percaya sama tulisanku. Aku bisa berpendapat seperti ini karena seperti yang aku sebutkan di atas, aku punya privilege. Andai aku tidak punya privilege, niscaya tulisanku tidak akan seperti ini. Pun karena anakku baru 1. Kalau latar belakang kita beda, prioritas kita beda, dan tujuan kita beda maka akan sangat mungkin kita juga berbeda pandangan soal ini kan?
Tapi saran aku sih, kalau kamu punya uang lebih, jangan pelit soal sekolah anak. Karena sekolah, apalagi sekolah dasar itu akan anak-anak kita bawa sampai selamanya di kehidupan dia. Dan karena sekolah gratis itu belum untuk semua kalangan dan semua sekolah, jadi kenapa gak sekolah gratis kita prioritasin buat mereka yang kurang mampu aja? Kamu yang mampu, sekolahin tempat lain.